Elektronik Perlu Bebas PPnBM

Jakarta, Kompas - Barang elektronik yang sudah digunakan secara massal dan menjadi penunjang aktivitas masyarakat sehari-hari serta mobil berkapasitas di bawah 2.000 cc diusulkan bebas Pajak Penjualan Barang Mewah atau PPnBM. Barang-barang tersebut sudah tidak bisa dikategorikan sebagai barang mewah.

Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Amirudin Saud mengungkapkan hal tersebut saat menyampaikan usulan kepada Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di DPR, Jakarta, Kamis (4/9).

Barang elektronik yang layak dibebaskan dari PPnBM, antara lain televisi, layar tipis berwarna (liquid crystal display/LCD), lemari es, telepon seluler, dan komputer.

Meski demikian, GINSI mendorong kenaikan tarif PPnBM bagi mobil berkapasitas lebih dari 2.000 cc setinggi-tingginya karena tergolong kendaraan mewah. GINSI mendesak penyusun UU PPN agar mengubah definisi barang mewah.

Barang elektronik dan alat komunikasi sudah tidak layak digolongkan sebagai barang mewah di era teknologi informasi seperti saat ini.

GINSI juga mengusulkan agar impor bahan baku industri yang akan diproses menjadi produk akhir dibebaskan dari PPN. Pada prinsipnya, PPN hanya dibebankan pada produk jadi.

Selain itu, sebanyak 77 persen dari seluruh impor Indonesia merupakan bahan baku industri sehingga pembebasan PPN diharapkan bisa meringankan ongkos produksi di dalam negeri.

Pada RDPU tersebut Panitia Kerja RUU PPN dan PPnBM mengundang tiga asosiasi untuk menyampaikan usulan mereka dalam memperbaiki konsep serta pelaksanaan PPN dan PPnBM di lapangan.

Ketiga asosiasi itu adalah Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, GINSI, dan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI).

Barang sitaan

Ketua APPI Wiwie Kurnia mengusulkan agar penjualan atas barang-barang sitaan yang diperoleh dari konsumen yang gagal bayar atau kredit macet bisa bebas PPN.

Penjualan kembali barang sitaan itu, ujar Wiwie, tidak menambah keuntungan perusahaan pembiayaan karena sifatnya hanya mengurangi kerugian akibat kredit macet. Barang sitaan yang marak saat ini, antara lain motor.

APPI juga meminta pemerintah menghapuskan PPN yang dikenakan pada transaksi pembiayaan (sale and leaseback). Selama ini petugas pajak terkecoh dengan istilah sale yang langsung diartikan sebagai penjualan yang menjadi objek PPN.

”Padahal, pada dasarnya, sale and leaseback ini murni pembiayaan, tidak ada unsur penjualannya,” papar Wiwie.

Sale and leaseback selama ini dikenal sebagai transaksi pembiayaan oleh kreditor terhadap objek pajak yang sebelumnya dimiliki debitor dengan skema sewa guna usaha dan hak opsi.

Dalam sistem ini tidak ada perpindahan secara fisik dari barang kena pajak (BKP) dan tidak ada unsur pertambahan nilai BKP pada transaksi ini. Atas dasar itu, penerapan tarif PPN sebesar 10 persen pada transaksi pembiayaan tidak tepat.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, kenaikan angka penjualan kendaraan bermotor sampai 48 persen akan lebih adil jika disertai kenaikan pajak meskipun kenaikannya tidak akan terlalu besar.

Kenaikan pajak kendaraan bermotor, ujarnya, bukan untuk mengurangi penjualan kendaraan, melainkan untuk peningkatan pembangunan infrastruktur jalan yang menopang peningkatan penjualan.

Wapres mengungkapkan hal itu saat meresmikan pusat suku cadang terbesar milik Toyota Astra di Indonesia di kawasan industri MM2100 di Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat.

Dalam acara itu hadir Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, dan Presdir Toyota Astra Motor Johnny Darmawan.(OIN/HAR)




Jika Sahabat Tertarik akan KREDIT khusus LAPTOP,HANDPHONE,ELEKTRONIK,SPRINGBED mohon kirimkan kepada kami via email : kreditmart@sabas.co atau SMS ke 081310797079 atau 0817120755,Klik Icon Merek di Side Bar kiri untuk mengetahui produk dan skim kredit,HARGA SEWAKTU-WAKTU DAPAT BERUBAH